Rabu, 11 Juni 2014

MANAJEMEN RETAIL


A.    Pengertian Manajemen Retail
Manajemen retail adalah pengaturan keseluruhan faktor-faktor yang berpengaruh dalam perdagangan retail, yaitu perdagangan langsung barang dan jasa kepada konsumen. Faktor-faktor yang berpengaruh dalam bisnis retail adalah place, price, product, dan promotion yang dikenal sebagai 4P.

B.   Pengelompokan Bisnis Retail
Ada beberapa klasifikasi bisnis ritel (blog murtiningsih) :

a.      Kepemilikan ( Owner ):
·         Single-Store Retailer (tipe yang paling banyak jumlahnya dengan ukuran toko umumnya dibawah 100 m²)
·         Rantai Toko Retail (toko retail dengan banyak cabang dan dimiliki oleh institusi perseroan)
·         Toko Waralaba (toko yang dibangun berdasarkan kontrak kerja sama waralaba antara terwaralaba dengan pewaralaba)
b.      Merchandise Category:
·         Specialty Store/ Toko Khas (Menjual satu jenis kategori barang yang relative sedikit/ sempit)
·         Grocery Store/ Toko Serba Ada (menjual barang groceries (sehari-hari))
·         Departement Store (menjual sebagian besar bukan kebutuhan pokok, fashionable, bermerek, dengan 80% pola konyinyasi)
·         Hyperstore(menjual barang dalam rentang kategori barang yang sangat luas)
c.       Luas Sales Area :
·         Small Store/kiosk (kios kecil yang umumnya merupakan toko retail tradisional, dioperasikan sebagai usaha kecil dengan sales kurang dari 100 m²)
·         Minimarket (dioperasikan dengan luasan sales area antara 100-1000 m²)
·         Supermarket (dioperasikan dengan luasan sales area antara 1000-5000 m²)
·         Hypermarket (dioperasikan dengan luasan sales area antara lebih dari 5000 m²)
d.      Non-Store Retailer Non-Store Retailer :
·         Multi-Level-Marketing (MLM) : Model penjualan barang secara langsung dengan system komisi penjualan berperingkat berdasarkan status keanggotaan dalam distribution lines
·         Mail & Phone Order Retailer ( Toko pesan antar ) : perusahaan yang melakukan penjualan berdasarkan pesanan melalui surat atau telepon
·         Internet/ Online Store (e-Commerce) : Toko Retail di dunia maya yang mngadopsikan internet ke dalam bentuk online retailing
Seperti kita lihat dari klasifikasi diatas bahwa sekarang ini ada banyak sekali usaha dalam bisnis ritel yang memudahkan para konsumen dalam memenuhi kebutuhannya. Dari skala kecil sampai skala besar demi menjangkau semua pasar. Dalam hal ini para pebisnis ritel harus mempunyai manajemen yang baik jika ingin bisa terus bertahan dalam usahanya

C.  Faktor Penting Dalam Usaha Bisnis Retail

Faktor-faktor yang berpengaruh dalam bisnis retail adalah place, price, product, dan promotion yang dikenal sebagai 4P.
a.       Place (Lokasi)
Menurut ( J.Supranto, 1998 ) Lokasi yaitu tempat dimana perusahaan melakukan kegiatan sehari-hari. Salah pemilihan lokasi perusahaan akan mengakibatkan kerugian bagi perusahaan. Dengan semakin tajamnya persaingan dan banyaknya perusahaan sudah tidak mungkin lagi untuk perusahaan melakukan coba-coba.
            Bagi seorang retailer untuk menentukan lokasi yang tepat bagi tokonya perlu memperhatikan faktor-faktor sebagai berikut (Basu Swastha dan Irawan, 1997 ):
·         Luas daerah perdagangan;
·         Dapat dicapai dengan mudah;
·         Potensi pertumbuhannya;
·         Lokasi toko-toko saingan.
Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi potensi penjualan dari lokasi toko baru adalah:
·         Dapat dicapai dengan mudah;
·         Populasi;
·         Pesaing;
·         Batas-batas daerah perdagangan.
b.      Price (Harga)
                        Basu Swastha (1996 : Hal 149 ) mendefinisikan harga adalah nilai suatu barang atau jasa yang diukur dengan sejumlah uang dimana berdasarkan nilai tersebut seseorang bersedia melepaskan barang dan jasa yang dimiliki pihak lain. Dari pengertian diatas jelas bahwa harga merupakan salah satu variabel yang penting dalam pemasaran, karena akan mempengaruhi secara langsung terhadap hasil penjualan dan keuntungan yang diperoleh perusahaan.

·         Tujuan penetapan harga
Penetapan harga ini biasanya mempunyai beberapa tujuan bagi produk yang dihasilkan. Tujuan tersebut antara lain:
a.       Menetapkan laba maksimun.
Dalam kenyataannya, terjadi harga ditentukan oleh penjual dan pembeli. Sebab makin besar pula kemungkinan bagi penjual mempunyai harapan mendapatkan keuntungan yang maksimal.
b.      Mencegah atau mengurangi persaingan.
Dapat dilakukan melalui kebijakan harga. Harga ini dapat diketahui bagaimana penjual menawarkan barang dengan harga yang sama. Oleh karena itu persaingannya hanya mungkin dilakukan tanpa melalui kebijakan harga, tetapi melalui servis lain.
c.. Memperbaiki atau mempertahankan pangsa pasar.
Memperbaiki pangsa pasar dilakukan bila kemampuan dibidang lain seperti di bidang pemasaran, keuangan, dan sebagainya. Dalam hal ini harga merupakan faktor yang penting bagi perusahaan kecil dengan kemampuan terbatas. Kemampuan harga ditujukan hanya skedar untuk mempertahankan market share.
·         Prosedur Penetapan Harga.
Menurut Basu Swastha (1993:150) dalam prosedur penentuan harga ada lima tahap yaitu:
a.       Mengantisipasi permintaan untuk produk tersebut.
b.      Mengetahui lebih dahulu reaksi dalam persaingan.
c.       Menentukan market share yang ditentukan.
d.      Memilih strategi harga untuk mencapai target pasar.
e.       Mempertimbangkan politik pemasaran perusahaan.

c.       Product ( produk )
Menentukan produk/jasa yang akan ditawarkan ke pasar umumnya menjadi langkah paling awal. Ide mengenai produk bisa didapatkan dari beberapa sumber. Cara termudah adalah dengan membandingkan langsung produk sejenis seperti yang ingin dijual, dan melakukan riset kecil-kecilan ke target pasar mengenai kelebihan dan kekurangan dari produk tersebut. Hasil dari riset tersebut diharapkan memberikan informasi yang lebih akurat bagi wirausaha mengenai prospek pasar yang akan dimasukinya dan produk macam mana yang diharapkan oleh target pasar.
Melihat banyaknya produk yang beredar di pasar maka keberhasilan bisnis ritel tergantung dari variasi produk yang dihadirkan atau penyediaan produk yang mngkin hanya tersedia di bisnis yang dipilih.
Mengembangkan merek-merek berlabel ( juga disebut merek-merek toko ) yang merupakan produk – produk yang dikembangkan dan dipasarkan oleh pelaku bisnis ritel dan hanya tersedia dari tempat bisnis ritel tersebut.

d.      Promotion (Promosi)
Aspek penting lainnya adalah mengenai promosi dari produk. Bagaimana suatu produk akan dikenalkan ke pasar agar pelanggan tergerak untuk membelinya. Salah satu cara berpromosi efektif adalah dengan beriklan. Bagi wirausaha yang baru memulai bisnis, iklan dilakukan dengan mempertimbangkan efektifitas dan efisiensi-nya. Untuk mendapatkan efektifitas beriklan sebaiknya dilakukan pemilihan media iklan yang benar-benar cocok dengan karakter target pasar dari produk. Mungkin tidak diperlukan untuk memasang iklan di segala media/tempat karena belum tentu berpengaruh kepada peningkatan penjualan. Selain itu pemasangan iklan juga berhubungan dengan biaya yang dikeluarkan. Pada tahap-tahap awal memulai bisnis, sebaiknya masalah biaya mendapat perhatian khusus agar tidak menjadi ganjalan dalam operasional usaha. Tentukan juga tujuan dari promosi, apakah untuk menciptakan kesadaran merek atau dimaksudkan untuk meningkatkan penjualan. Jangan lupa untuk mengukur hasil dari setiap kegiatan promosi yang dilakukan, apakah sesuai dengan harapan atau masih perlu perbaikan untuk kegiatan promosi berikutnya.
Dari seemua uraian diatas bisa diambil sebuah kesimpulan bahwa Place, Price, Product dan Promotion merupakan faktor yang tak bisa dipisahkan dalam mengembangkan usaha bisnis retail karena gabungan antara keempat faktor tersebut bisa jadi menentukan keberhasilan ataupun gagalnya usaha ritel.

Minggu, 19 Januari 2014

Perjanjian Usaha yang di larang

Untuk menjamin persaingan usaha yang sehat, pemerintah melalui UU No.5/99 melarang perjanjian dan kegiatan yang pada akhirnya menyebabkan persaingan pasar tidak sehat. Perjanjian yang dilarang tersebut antara lain :
1. Oligopoli
 Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa, apabila 2 (dua) atau 3 (tiga) pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

2. Penetapan Harga
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama. Ketentuan tersebut tidak berlaku bagi:
a. suatu perjanjian yang dibuat dalam suatu usaha patungan; atau
b. suatu perjanjian yang didasarkan undang-undang yang berlaku.
 Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan atau jasa yang sama.
 Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga di bawah harga pasar, yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
 Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa tidak akan menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya, dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
3. Pembagian Wilayah
 Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan atau jasa sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
4. Pemboikotan
  Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri.
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya, untuk menolak menjual setiap barang dan atau jasa dari pelaku usaha lain sehingga perbuatan tersebut:
a.   merugikan atau dapat diduga akan merugikan pelaku usaha lain; atau
b.  membatasi pelaku usaha lain dalam menjual atau membeli setiap barang dan atau jasa dari pasar bersangkutan.
5. Kartel
 Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
 6. Trust
 Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kerja sama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup masing-masing perusahaan atau perseroan anggotanya, yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
 7. Oligopsoni
 Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk secara bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan agar dapat mengendalikan harga atas barang dan atau jasa dalam pasar bersangkutan, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan apabila 2 (dua) atau 3 (tiga) pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
8. Integrasi Vertikal
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan, baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung, yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat.
9. Perjanjian Tertutup 
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan atau pada tempat tertentu.
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa tertentu harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok.
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian mengenai harga atau potongan harga tertentu atas barang dan atau jasa, yang memuat persyaratan bahwa pelaku usaha yang menerima barang dan atau jasa dari pelaku usaha pemasok:
a.   harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok; atau
b.  tidak akan membeli barang dan atau jasa yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain yang menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok.

10. Perjanjian dengan Pihak Luar Negeri
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain di luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

Kegiatan usaha yang di larang

Setelah mengetahui perjanjian yang dilarang dalam rangka persaingan usaha, maka pemerintah juga melarang kegiatan-kegiatan yang menyebabkan persaingan usaha menjadi tidak sehat.
Persaingan usaha yang tidak sehat tersebut antara lain :
1. Monopoli
Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa apabila:
a.   barang dan atau jasa yang bersangkutan belum ada substitusinya; atau
b.  mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha barang dan atau jasa yang sama; atau
c.   satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.


2. Monopsoni
 Pelaku usaha dilarang menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan atau jasa dalam pasar bersangkutan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Pelaku usaha patut diduga atau dianggap menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal apabila satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

3. Penguasaan Pasar
Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat berupa :
a.   menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan; atau
b.  menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya itu; atau
c.   membatasi peredaran dan atau penjualan barang dan atau jasa pada pasar bersangkutan; atau
d.  melakukan praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.
 Pelaku usaha dilarang melakukan pemasokan barang dan atau jasa dengan cara melakukan jual rugi atau menetapkan harga yang sangat rendah dengan maksud untuk menyingkirkan atau mematikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
 Pelaku usaha dilarang melakukan kecurangan dalam menetapkan biaya produksi dan biaya lainnya yang menjadi bagian dari komponen harga barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.

 4. Persekongkolan
 Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
 Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mendapatkan informasi kegiatan usaha pesaingnya yang diklasifikasikan sebagai rahasia perusahaan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
 Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk menghambat produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa pelaku usaha pesaingnya dengan maksud agar barang dan atau jasa yang ditawarkan atau dipasok di pasar bersangkutan menjadi berkurang baik dari jumlah, kualitas, maupun ketepatan waktu yang dipersyaratkan.

Pengertian persaingan usaha tidak sehat

Yang dimaksud oleh persaingan usaha tidak sehat adalah suatu persaingan antara pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang atau jasa yang dilakukan dengan cara cara yang tidak jujur atau dengan cara melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.

Pelaku usaha adalah setiap orang atau pun badan usaha , baik yang berbentuk badan hukum atau tidak, yang didirikan atau berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah Republik Indonesia yang menyelenggarakan berbagai kegiatan dalam bidang ekonomi.

Pengertian Monopoli

Monopoli adalah suatu penguasaan pasar yang dilakukan oleh seseorang atau perusahaan atau badan untuk menguasai penawaran pasar (penjualan produk barang dan atau jasa di pasaran) yang ditujukan kepada para pelanggannya.
Bagaimana dengan PT PLN, apakah itu suatu praktek monopoli ? Kalau menurut saya itu bisa dibilang sebuah praktek monopoli dan juga bisa dibilang bukan praktek monopoli, kenapa ? Bisa dibilang praktek monopoli karena PT PLN memanglah satu-satunya perusahaan listrik di indonesia yang menguasai pangsa pasar di indonesia. Tapi bisa juga dibilang bukan praktek monopoli karena PT PLN adalah perusahaan milik negara yang bertugas melayani para warga ataupun penduduk indonesia.

Tanggung Jawab Pelaku Usaha

Hukum tentang tanggung jawab produk ini termasuk dalam perbuatan melanggar hukum tetapi diimbuhi dengan tanggung jawab mutlak (strict liability), tanpa melihat apakah ada unsur kesalahan pada pihak pelaku. Dalam kondisi demikian terlihat bahwa adagium caveat emptor (konsumen bertanggung jawab telah ditinggalkan) dan kini berlaku caveat venditor (pelaku usaha bertanggung jawab).
Istilah Product Liability (Tanggung Jawab Produk) baru dikenal sekitar 60 tahun yang lalu dalam dunia perasuransian di Amerika Serikat, sehubungan dengan dimulainya produksi bahan makanan secara besar-besaran. Baik kalangan produsen (Producer and manufacture) maupun penjual (seller, distributor) mengasuransikan barang-barangnya terhadap kemungkinan adanya resiko akibat produk-produk yang cacat atau menimbulkan kerugian tehadap konsumen.
Produk secara umum diartikan sebagai barang yang secara nyata dapat dilihat, dipegang (tangible goods), baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak. Namun dalam kaitan dengan masalah tanggung jawab produser (Product Liability) produk bukan hanya berupa tangible goods tapi juga termasuk yang bersifat intangible seperti listrik, produk alami (mis. Makanan binatang piaraan dengan jenis binatang lain), tulisan (mis. Peta penerbangan yang diproduksi secara masal), atau perlengkapan tetap pada rumah real estate (mis. Rumah). Selanjutnya, termasuk dalam pengertian produk tersebut tidak semata-mata suatu produk yang sudah jadi secara keseluruhan, tapi juga termasuk komponen suku cadang.
Tanggung jawab produk (product liability), menurut Hursh bahwa product liability is the liability of manufacturer, processor or non-manufacturing seller for injury to the person or property of a buyer third party, caused by product which has been sold. Perkins Coie juga menyatakan Product Liability: The liability of the manufacturer or others in the chain of distribution of a product to a person injured by the use of product
Dengan demikian, yang dimaksud dengan product liability adalah suatu tanggung jawab secara hukum dari orang atau badan yang menghasilkan suatu produk (producer, manufacture) atau dari orang atau badan yang bergerak dalam suatu proses untuk menghasilkan suatu produk (processor, assembler) atau orang atau badan yang menjual atau mendistribusikan produk tersebut.
Bahkan dilihat dari konvensi tentang product liability di atas, berlakunya konvensi tersebut diperluas terhadap orang/badan yang terlibat dalam rangkaian komersial tentang persiapan atau penyebaran dari produk, termasuk para pengusaha, bengkel dan pergudangan. Demikian juga dengan para agen dan pekerja dari badan-badan usaha di atas. Tanggung jawab tersebut sehubungan dengan produk yang cacat sehingga menyebabkan atau turut menyebabkan kerugian bagi pihak lain (konsumen), baik kerugian badaniah, kematian maupun harta benda.

Perbuatan Yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha

Ketentuan mengenai perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha diatur dalam Pasal 8 – 17 UU PK. Ketentuan-etentuan ini kemudian dapat dibagi kedalam 3 kelompok, yakni:
-larangan bagi pelaku usaha dalam kegiatan produksi (Pasal 8 )
-larangan bagi pelaku usaha dalam kegiatan pemasaran (Pasal 9 – 16)
-larangan bagi pelaku usaha periklanan (Pasal 17)
Mari kita bahas satu per satu. Yang pertama ialah larangan bagi pelaku usaha dalam kegiatan produksi. Ada 10 larangan bagi pelaku usaha sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU PK, yakni pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang:
-tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
-tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
-tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;
-tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
-tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
-tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;
-tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;
-tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label;
-tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus di pasang/dibuat;
-tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Tiap bidang usaha diatur oleh ketentuan tersendiri. Misalnya kegiatan usaha di bidang makanan dan minuman tunduk pada UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Tak jarang pula, tiap daerah memiliki pengaturan yang lebih spesifik yang diatur melalui Peraturan Daerah. Selain tunduk pada ketentuan yang berlaku, pelaku usaha juga wajib memiliki itikad baik dalam berusaha. Segala janji-janji yang disampaikan kepada konsumen, baik melalui label, etiket maupun iklan harus dipenuhi.
Selain itu, ayat (2) dan (3) juga memberikan larangan sebagai berikut:
(2)  Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.
(3)  Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.
UU PK tidak memberikan keterangan yang jelas mengenai apa itu rusak, cacat, bekas dan tercemar. Bila kita membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah-istilah tersebut diartikan sebagai berikut:
Rusak: sudah tidak sempurna (baik, utuh) lagi.
Cacat: kekurangan yang menyebabkan nilai atau mutunya kurang baik atau kurang sempurna.
Bekas: sudah pernah dipakai.
Tercemar: menjadi cemar (rusak, tidak baik lagi)
Ternyata cukup sulit untuk membedakan rusak, cacat dan tercemar. Menurut saya rusak berarti benda tersebut sudah tidak dapat digunakan lagi. Cacat berarti benda tersebut masih dapat digunakan, namun fungsinya sudah berkurang. Sedangkan tercemar berarti pada awalnya benda tersebut baik dan utuh. Namun ada sesuatu diluar benda tersebut yang bersatu dengan benda itu sehingga fungsinya berkurang atau tidak berfungsi lagi.