Kamis, 07 Maret 2013

etika dalam bisnis syariah

Etika dalam perkembangannya menjadi sebuah kajian filsafat tentang moral, moralitas, dan pengkajian secara sistematis tentang perilaku. Bahkan, etika diperhadapkan pada proses penentuan yang kompleks tentang apa yang harus dilakukan dalam situasi tertentu.  Tolak ukur pertanggungjawaban moral meliputi etika wahyu, etika peraturan, etika situasi, dan relativisme moral. Teori etika berkembang dengan pesat sesuai dengan norma dan nilai yang berlaku dalam tatanan masyarakat sosial. Secara garis besar, teori etika terdiri atas etika deontologi, etika teleologi, dan etika hybrid. Namun, etika Islam lahir karena ketidakpuasaan terhadap pemahaman teori etika barat yang berusaha memisahkan antara transaksi bisnis dengan moral dan etika. Nabiyullah Muhammad saw mengimplementasikan prinsip-prinsip bisnis secara universal, yaitu siddiq, amanah, fathonah, dan tabligh.  Dan inilah menjadi prinsip yang dapat dikembangkan sebagai etika Islam dengan nilai-nilai universalnya tanpa mengesampingkan nilai-nilai dasar amar ma’ruf nahi mungkar (QS al-Imran: 104).

Pergeseran tersebut, telah melirik pemikiran etika yang tertuang dalam al-Quran dan sunnah. Secara normatif, al-Qur’an  menyampaikan tanggung jawab individual  sebagai makhluk sosial sangat penting dalam setiap aktivitas (ataupun bisnis). Setiap orang akan dimintai pertanggungjawabannya baik di dunia maupun di akhirat (QS al-Isra: 36). Etika barat cenderung mengabaikan aspek spritual, berbuat baik bukan atas dorongan personality sebagai insan yang percaya akan kebenaran illahiah tetapi karena perilaku baik tersebut merupakan norma yang berlaku umum (general acceptance). Sementara itu, al-Qur’an dan sunnah mengisyaratkan membangun etika secara islami berdasarkan konsep tauhid (dimensi vertikal), keseimbangan  (dimensi horizontal dengan semesta alam), free will (ikhtiar), pertanggungjawaban (fard al), dan kebajikan. Lazimnya, kategori keputusan dan tindakan dianggap baik bilamana menghasilkan utility tanpa menelaah prosesnya yang justru dapat saja bertentangan dengan nilai-nilai etika dan aspek spritualnya.

Etika Islam dalam implementasi praktik bisnis tentunya didasarkan pada ajaran agama Islam, nilai-nilai etikanya berdasarkan al-Qur’an dan hadis (sumber nilai utama penentu pilihan baik dan buruk). Derivasi kedua sumber tersebut diformulasikan praktis dalam bentuk syariah. Syariah, tidak hanya merupakan sistem hukum positif saja tetapi juga sisi moralitas (etika), atau merupakan sistem hukum yang komprehensif yang meliputi hukum dan moralitas. Hal ini menandakan bahwa makna syariah berhubungan langsung dengan etika (moral), yaitu syariah sebagai hukum yang dibangun berdasarkan tanggung jawab moral dan syariah diimplemnetasikan dengan sikap mental dan moral. Komplementer keduanya, menunjukkan acceptability atas syariah sebagai etika yang mampu membedakan dan memilih secara tegas dan tepat yang baik diantara yang buruk dan yang benar diantara yang salah (etika syariah).

Nilai etika syariah  merupakan pancaran hati nurani yang intuitif untuk secara sadar mencari dan memahami sunnatullah dan melaksanakannya dengan tunduk pada sunnatullah pula.  Etika tersebut, tidak hanya bermanfaat pada lingkungan sosial tetapi juga memberikan manfaat spritual (hubungan vertikal dengan Sang Khalik) bagi pelaku etika syariah.  Etika syariah meliputi  ketentuan-ketentuan hukum (sunnatullah) yang bersifat manusiawi dan juga menghubungkan pelaku etikanya dengan Allah swt. Hal tersebut merupakan kewajiban (duty) manusia sebagai khalifatullah fil ardh yang sesuai dengan fitranya. Manusia mempunyai potensi kesadaran atas nilai-nilai ketuhanan dan ketundukannya kepada Allah swt sebagai fitrahnya. Sifat dan tindakan tercela (lingkup etika) manusia di muka bumi ini menyebabkan ternodai fitrahnya, tidak mempraktikkan nilai-nilai mulia dalam aktivitas keduniaannya.

Kesadaran atas nilai-nilai ketuhanan (taqwa) merupakan kesadaran puncak kembali kepada fitrah manusia. Ternodainya kesucian aktivitas keduniaan tentunya kembali kepada unsur manusianya. Namun, tidak kalah pentingnya adalah kesadaran akhlak manusia sebagai usaha hidup harmoni ditengah-tengah masyarakat yang taat terhadap sunnatullah. Kesadaran tersebut tentunya memperkuat kecenderungan alami (fithrah) manusia untuk senantiasa berbuat baik (hanifiyyah) [QS al-Baqarah: 177] yang disuarakan oleh hati nurani atau kalbu manusia, kemudian dorongan batinlah yang mewujudkan nilai-nilai firman Ilahi tersebut. Kadar nilai baik dan buruk untuk setiap orang adalah berbeda tetapi adanya keyakinan terhadap Allah swt yang tertuang dalam sunnatullah sebagai pedoman bertingkah laku (bertindak) membuat tujuan  setiap orang adalah sama, yaitu kebaikan dunia, kebaikan di akhirat, dan terhindar dari siksa api neraka (QS al-Baqarah: 201). Segala yang diperintahkan-Nya adalah baik (amar ma’ruf) dan segala yang dilarang-Nya adalah tidak baik (nahi mungkar). Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan pula (QS Ar-Rahmaan: 60).

Refleksi syariah sebagai dasar nilai etika merupakan esensi manusia sebagai khalifatullah fil ardh yang berupaya mencari dan memahami sunnatullah dan kesadaran  ketuhanan  sebagai bagian inklusif dari etika syariah. Aktivitas dan rutinitas keseharian tentunya dibangun berdasarkan nilai-nilai yang dimiliki manusia dan penjabaran nilai-nilai sosialisme dari individu tanpa mengabaikan hubungan vertikal Ilahiah. Perkembangan interaksi sosial di masyarakat lebih cenderung mengabaikan etika syariah, bersifat individualistis, dan materialistis  sehingga menimbulkan efek negatif terhadap perkembangan ekonomi dunia.  Pergeseran paradigma yang berakar pada intelektual  ke emosional dan spritual, seperti implementasi praktis etika syariah dalam dunia bisnis menjadi solusi ketidakpuasan dan tuntutan kesadaran manusia untuk tetap pada koridor fitrahnya■.

bisnis syariah sebagai pekerjaan mulia

Banyak orang mengatakan, pasar syariah adalah pasar yang emosional (emotional market), sedangkan pasar konvensional adalah pasar yang rasional (rational market).
Selain itu, dalam syariah marketing, bisnis yang disertai keikhlasan semata-mata hanya untuk mencari keridhaan Allah, maka seluruh bentuk transaksinya insya Allah menjadi ibadah di hadapan Allah SWT. Ini akan menjadi bibit dan modal besar baginya untuk menjadi bisnis yang besar, yang memiliki spiritual brand, yang memiliki karisma, keunggulan, dan keunikan yang tak tertandingi. Seperti kata Al-Quran, “Dan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya karena mencari keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat, maka kebun itu akan menghasilkan buahnya dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyiraminya, maka hujan gerimis (pun memadai). Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu perbuat.
Spiritual Marketing sebagai Jiwa Bisnis
Kita memerlukan kepemimpinan spiritual dalam mengelola suatu bisnis, terlepas dari mana sumber spiritual tersebut. Seperti yang dikatakan oleh Jonathan L. Parapak, “Apabila kita dalami elemen-elemen pokok dari kepemimpinan, maka semua harus diwarnai, dicerahi, dan dilandasi oleh ajaran, nilai, dan prinsip-prinsip Agama (Kristen bagi penganut Kristen). Visinya adalah visi penyelamat, visi transformasi, visi pemeliharaan, visi kasih, visi pemberdayaan, dan visi kekekalan. Strateginya adalah strategi pemberdayaan, penyelamatan, dan pembaruan. System nilai, ajaran, dan prinsip-prinsip Kristiani menjadi pegangan, landasan, acuan, dan arahan utama dalam memilih pola komunikasi, skenario yang akan digelar.”
Sebenarnya, spiritual marketing ini dapat kita laksanakan dengan optimal jika dalam segala aktivitas sehari-hari kita menempatkan Tuhan sebagai Stakeholder utama. Ini perbedaan pokok antara pemasaran biasa dan spiritual marketing. Kita menempatkan Tuhan sebagai satu-satunya pemilik kepentingan (the ultimate stakeholder). Akuntabilitas dan responsibilitas diterjemahkan sebagai pertanggungjawaban di Padang Mahsyar (yaumul hisab) kelak, yang merupakan pengadilan abadi terhadap sepak-terjang manusia (termasuk para pelaku bisnis), baik yang tersurat maupun yang tersirat. Allah SWT berfirman, “Apakah manusia mengira bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggungjawaban)?” (QS Al-Qiyamah [75]:36).
Karakteristik Syariah Marketing
Kata “syariah” (al-syari’ah) telah ada dalam bahasa Arab sebelum turunnya Al-Quran. Kata yang semakna dengannya juga ada dalam Taurat dan Injil. Kata syari’at dalam bahasa Ibrani disebutkan sebanyak 200 kali, yang selalu mengisyaratkan pada makna “kehendak Tuhan yang diwahyukan sebagai wujud kekuasaan-Nya atas segala perbuatan manusia.”

ruang lingkup bisnis syariah

Ekonomi Syari’ah terdiri atas dua akar kata yaitu ekonomi dan syari’ah. Kata Ekonomi berasal dari bahasa latin yaitu ekos dan nomos yang berarti orang yang mengatur rumah tangga. Dan dalam bahasa arab istilah ekonomi berasal dari kata dasar qashada yang melahirkan kata qashd, qashadan, qashdi, qashd, maqshid atau maqashid dan iqtishad. Dari sini lahirlah istilah ilm alqtishadi (ilmu ekonomi).
Dalam alqur’an dijumpai beberapa kata yang berakar dari qashada, diantaranya:
1.Kata qashid pada surah luqman 9 yang berarti sederhana.
2.Kata qashdu pada surah an Nahl 9 yang berarti jalan lurus/stabil.
3.Kata qashidan pada surah at Taubah 42 dengan arti keinginan atau Kebutuhan
4.Kata Muqtashid pada surah Luqman 32 yang berarti jalan lurus dan pada surah Fathir 32 dengan arti pertengahan.
5.Kata Muqtashidatun pada surah al Maidah 66 yang berarti Pertengahan.
Dari berbagai pengertian istilah tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa fungsi pokok berbagai aktifitas ekonomi dalam Islam harus dapat merealisasikan pencapaian kesempurnaan manusia melalui aktualitas maqashidus syari’ah.(Makalah Ekonomi Islam, hal..1 dan 2)
Adapun maqashidus syari’ah itu adalah untuk memelihara jiwa, akal, keturunan, kehormatan dan harta.
Sedangkan Syari’ah adalah kata bahasa Arab yang secara harfiyah berarti jalan yang ditempuh atau garis yang mesti dilalui. Secara terminology, definisi syri’ah adalah peraturan-peraturan dan hukum yang telah digariskan oleh Allah, atau telah digariskan pokok-pokoknya dan dibebankan kepada kaum muslimin supaya mematuhinya.
Sebab inilah kenapa ekonomi Islam sering disebut dengan ekonomi syari’ah, karena ekonomi syari’ah adalah ekonomi yang didasarkan pada petunjuk-petunjuk al Qur’an dan Hadits.(Habib Nazir,hal.543)
Di dalm surah Al-Jasyiyah ayat 18, Kami jadikan engkau di atas perkara yang disyari’atkan, maka ikutlah syari’at itu dan jangan engkau ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.
Dari ayat ini jelaslah bahwa:
a)syari’at itu dari Allah.
b)syari’at itu harus diikuti.
c)syari’at tidak memperturutkan keinginan hawa nafsu.

landasan pokok manajemen bisnis syariah

Akhlak dan EkonomiEkonomi suatu bangsa akan baik, apabila akhlak masyarakatnya baik. Antara akhlak dan ekonomi memiliki keterikatan yang tak dapat dipisahkan dengan demikian, akhlak yang baik berdampak pada terbangunnya muamalah atau kerjasama ekonomi yang baik. Rasulullah tidak hanya diutus untuk menyebarluaskan akhlak semat, melainkan untuk menyempurnakan akhlak mulia baik akhlak dalam berucap; maupun dalam bertingkah laku, sehingga mendekatkan diri kepada Allah swt dan beriman dengan sebenar-benarnya dapat terwujud. Untuk melihat akhlak manusia bertindak dalam kehidupan ekonomi maka baik kita lihat dulu posisi akhlak dalam struktur agama Islam.
Agama Islam mengandung tiga komponen pokok yang terstruktur dan tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain yaitu:
1. Aqidah atau Iman
Merupakan keyakinan akan adanya Allah dan rasul yang dipilihnya untuk menyampaikan risalahnya kepada umat melalui malaikat yang dituangkan dalam kitab suci, yang mengajarkan adanya hari akhirat, suasana kehidupan sesudah mati.
2. Syariah
Merupakan aturan Allah tentang pelaksanaan dari penyerahan diri secara total melalui proses ibadah dalam hubungan dengan sesama makhluk, secara garis besar syariah meliputi dua hal pokok yaitu ibadah dalam arti khusus atau ibadh mahdah dan ibadah dalam arti umum atau muamalah atau ibadh ghair mahdah.
3. Akhlak
Yaitu pelaksanaan ibadah kepada Allah dan bermuamalah dengan penuh keikhlasan. Tiga komponen ajaran Islam, akidah, syariat dan akhlak merupakan suatu kesatuan yang integral tidak dapat dipisahkan.

muhammad sebagai pelaku bisnis

Kehebatan berbisnis Muhammad bisa dilihat dalam sebuah riwayat yang menceritakan bahwa beliau pernah menerima utusan dari Bahrain, Muhammad menanyakan kepada Al-Ashajj berbagai hal dan orang-orang yang terkemuka serta kota-kota yang terkemuka di Bahrain. Pemimpin kabilah tersebut sangat terkejut atas luasnya pengetahuan geografis serta sentral-sentral komersial Muhammad. Kemudian al-Ashajj berkata “sungguh Anda lebih mengetahu tentang negeri saya daripada saya sendiri dan anda pula lebih banyak mengetahui pusat-pusat bisnis kota saya dibanding apa yang saya ketahu. Muhammad menjawab “saya telah diberi kesempatan untuk menjelajahi negeri anda dan saya telah melakukannya dengan baik.”

Melalui momentum Maulid Nabi ini kiranya perlu mengangkat tema kesuksesan Muhammad sebagai pelaku bisnis demi memacu munculnya pengusaha-pengusaha muda di kalangan Muslim. Sebenarnya negeri ini memiliki tokoh-tokoh agama sekaligus pengusaha sukses, sebut saja misalnya, tokoh nasional K.H. Ahmad Dahlan dengan usaha batiknya. Bahkan dalam sejarah gerakan kemerdekaan Indonesia kita mengenal tokoh-tokoh agama yang terhimpun dalam Syarikat Dagang Indonesia.
Sebagaimana kita ketahui jumlah wirausahawan di Indonesia masih relatif rendah dibandingkan dengan negara-negara maju di dunia. Dari total penduduk Indonesia, 231, 83 juta jiwa hanya sekitar 2 persen saja yang berwirausaha atau sebesar 4, 6 juta. Tentunya jumlah ini sangat kecil sekali jika negeri ini menginginkan penduduknya untuk semakin kuat dan mandiri secara ekonomi.
Negara-negara maju relative memiliki persentasi wirausahawan yang relatif tinggi dari jumlah penduduknya. Persentase penduduk Singapura yang berwirausaha mencapai 7 persen, China dan Jepang 10 persen dari total jumlah penduduk mereka. Sedangkan yang tertinggi adalah Amerika Serikat sebesar 11, 5-12 persen.
Melalui perayaan Maulid Nabi ini, kita perlu mengkampanyeka pentingnya berwirausaha seperti apa yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW sebagai solusi untuk menyelesaikan persoalan umat yaitu kemiskinan dan pengangguran.