Etika dalam perkembangannya menjadi sebuah kajian filsafat tentang
moral, moralitas, dan pengkajian secara sistematis tentang perilaku.
Bahkan, etika diperhadapkan pada proses penentuan yang kompleks tentang
apa yang harus dilakukan dalam situasi tertentu. Tolak ukur
pertanggungjawaban moral meliputi etika wahyu, etika peraturan, etika
situasi, dan relativisme moral. Teori etika berkembang dengan
pesat sesuai dengan norma dan nilai yang berlaku dalam tatanan
masyarakat sosial. Secara garis besar, teori etika terdiri atas etika
deontologi, etika teleologi, dan etika hybrid. Namun, etika
Islam lahir karena ketidakpuasaan terhadap pemahaman teori etika barat
yang berusaha memisahkan antara transaksi bisnis dengan moral dan etika.
Nabiyullah Muhammad saw mengimplementasikan prinsip-prinsip bisnis
secara universal, yaitu siddiq, amanah, fathonah, dan tabligh.
Dan inilah menjadi prinsip yang dapat dikembangkan sebagai etika Islam
dengan nilai-nilai universalnya tanpa mengesampingkan nilai-nilai dasar amar ma’ruf nahi mungkar (QS al-Imran: 104).
Pergeseran tersebut, telah melirik pemikiran etika yang tertuang
dalam al-Quran dan sunnah. Secara normatif, al-Qur’an menyampaikan
tanggung jawab individual sebagai makhluk sosial sangat penting dalam
setiap aktivitas (ataupun bisnis). Setiap orang akan dimintai
pertanggungjawabannya baik di dunia maupun di akhirat (QS al-Isra: 36).
Etika barat cenderung mengabaikan aspek spritual, berbuat baik bukan
atas dorongan personality sebagai insan yang percaya akan kebenaran illahiah tetapi karena perilaku baik tersebut merupakan norma yang berlaku umum (general acceptance).
Sementara itu, al-Qur’an dan sunnah mengisyaratkan membangun etika
secara islami berdasarkan konsep tauhid (dimensi vertikal),
keseimbangan (dimensi horizontal dengan semesta alam), free will (ikhtiar), pertanggungjawaban (fard al), dan kebajikan. Lazimnya, kategori keputusan dan tindakan dianggap baik bilamana menghasilkan utility tanpa menelaah prosesnya yang justru dapat saja bertentangan dengan nilai-nilai etika dan aspek spritualnya.
Etika Islam dalam implementasi praktik bisnis tentunya didasarkan
pada ajaran agama Islam, nilai-nilai etikanya berdasarkan al-Qur’an dan
hadis (sumber nilai utama penentu pilihan baik dan buruk). Derivasi
kedua sumber tersebut diformulasikan praktis dalam bentuk syariah.
Syariah, tidak hanya merupakan sistem hukum positif saja tetapi juga
sisi moralitas (etika), atau merupakan sistem hukum yang komprehensif
yang meliputi hukum dan moralitas. Hal ini menandakan bahwa makna
syariah berhubungan langsung dengan etika (moral), yaitu syariah sebagai
hukum yang dibangun berdasarkan tanggung jawab moral dan syariah
diimplemnetasikan dengan sikap mental dan moral. Komplementer keduanya,
menunjukkan acceptability atas syariah sebagai etika yang mampu
membedakan dan memilih secara tegas dan tepat yang baik diantara yang
buruk dan yang benar diantara yang salah (etika syariah).
Nilai etika syariah merupakan pancaran hati nurani yang intuitif untuk secara sadar mencari dan memahami sunnatullah dan melaksanakannya dengan tunduk pada sunnatullah pula.
Etika tersebut, tidak hanya bermanfaat pada lingkungan sosial tetapi
juga memberikan manfaat spritual (hubungan vertikal dengan Sang Khalik)
bagi pelaku etika syariah. Etika syariah meliputi ketentuan-ketentuan
hukum (sunnatullah) yang bersifat manusiawi dan juga menghubungkan pelaku etikanya dengan Allah swt. Hal tersebut merupakan kewajiban (duty) manusia sebagai khalifatullah fil ardh
yang sesuai dengan fitranya. Manusia mempunyai potensi kesadaran atas
nilai-nilai ketuhanan dan ketundukannya kepada Allah swt sebagai
fitrahnya. Sifat dan tindakan tercela (lingkup etika) manusia di muka
bumi ini menyebabkan ternodai fitrahnya, tidak mempraktikkan nilai-nilai
mulia dalam aktivitas keduniaannya.
Kesadaran atas nilai-nilai ketuhanan (taqwa) merupakan kesadaran
puncak kembali kepada fitrah manusia. Ternodainya kesucian aktivitas
keduniaan tentunya kembali kepada unsur manusianya. Namun, tidak kalah
pentingnya adalah kesadaran akhlak manusia sebagai usaha hidup harmoni
ditengah-tengah masyarakat yang taat terhadap sunnatullah. Kesadaran tersebut tentunya memperkuat kecenderungan alami (fithrah) manusia untuk senantiasa berbuat baik (hanifiyyah)
[QS al-Baqarah: 177] yang disuarakan oleh hati nurani atau kalbu
manusia, kemudian dorongan batinlah yang mewujudkan nilai-nilai firman
Ilahi tersebut. Kadar nilai baik dan buruk untuk setiap orang adalah
berbeda tetapi adanya keyakinan terhadap Allah swt yang tertuang dalam sunnatullah
sebagai pedoman bertingkah laku (bertindak) membuat tujuan setiap
orang adalah sama, yaitu kebaikan dunia, kebaikan di akhirat, dan
terhindar dari siksa api neraka (QS al-Baqarah: 201). Segala yang
diperintahkan-Nya adalah baik (amar ma’ruf) dan segala yang dilarang-Nya adalah tidak baik (nahi mungkar). Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan pula (QS Ar-Rahmaan: 60).
Refleksi syariah sebagai dasar nilai etika merupakan esensi manusia sebagai khalifatullah fil ardh yang berupaya mencari dan memahami sunnatullah
dan kesadaran ketuhanan sebagai bagian inklusif dari etika syariah.
Aktivitas dan rutinitas keseharian tentunya dibangun berdasarkan
nilai-nilai yang dimiliki manusia dan penjabaran nilai-nilai sosialisme
dari individu tanpa mengabaikan hubungan vertikal Ilahiah. Perkembangan
interaksi sosial di masyarakat lebih cenderung mengabaikan etika
syariah, bersifat individualistis, dan materialistis sehingga
menimbulkan efek negatif terhadap perkembangan ekonomi dunia.
Pergeseran paradigma yang berakar pada intelektual ke emosional dan
spritual, seperti implementasi praktis etika syariah dalam dunia bisnis
menjadi solusi ketidakpuasan dan tuntutan kesadaran manusia untuk tetap
pada koridor fitrahnya■.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar